biochemist diana lestari

Selamat datang

Sabtu, 07 Januari 2012

Mengolah Kotoran Ternak Menjadi Energi Ramah Lingkungan


SIAPA sangka kotoran ternak bisa jadi sumber energi alternatif yang ramah lingkungan. Lewat proses fermentasi, limbah yang baunya amat merangsang itu dapat diubah menjadi biogas. Energi biogas punya kelebihan dibanding energi nuklir atau batu bara, yakni tak berisiko tinggi bagi lingkungan. Selain itu, biogas tak memiliki polusi yang tinggi. Alhasil, sanitasi lingkungan pun makin terjaga.
Sejak terjadi krisis energi pada tahun 1973, masalah energi menjadi topik utama dunia.
Negara-negara maju mulai berlomba mencari terobosan baru dalam menghasilkan energi alternatif yang jauh lebih murah ketimbang minyak dan gas. Mereka pun menerapkan kebijakan diversifikasi energi. Tentunya ketergantungan pada energi tak terbarukan tadi makin berkurang. Ini wajar, sebab setiap krisis yang terjadi selalu memberikan efek pada kenaikan harga BBM serta ketersediaan yang kurang memadai.
”Salah satu contoh energi alternatif tadi adalah biogas. Energi ini punya masa depan cerah. Kita pun punya banyak bahan baku sumber energi itu,” ungkap Daru Mulyono dari Direktorat Teknologi Budi Daya Pertanian, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Sayangnya, pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas ini kalah ngetop ketimbang pupuk tanaman dari kotoran itu.

Padahal dengan teknologi biogas, kandungan zat-zat alami yang terdapat pada kotoran ternak dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan energi yang kian meningkat. Jadi ribut-ribut soal pasokan energi yang kurang tidak bakal ada lagi. Pasalnya, biogas bisa dipakai untuk apa saja. Sebut saja mulai dari memasak, lampu penerangan, transportasi hingga keperluan lain yang perlu energi. Nah, bila biogas telah diaplikasikan secara luas, ribut-ribut kekurangan pasokan energi bisa dihindari. Dan urusan sanitasi lingkungan pun bisa teratasi.
Namun menurut catatan ALGAS (1997), sektor peternakan merupakan kontributor kedua dalam angka emisi gas metan. Nomor satunya dipegang sektor pertanian. Bersama CO, N2O, NOx, gas metan adalah gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas di bidang pertanian dan peternakan. Fermentasi dari pencernaan ternak (enteric fermentation) menyumbang sebagian besar emisi gas metan yang dihasilkan peternakan.

Tapi, jangan khawatir, emisi gas metan yang muncul bisa dikurangi. Caranya, dengan perbaikan kualitas makanan ternak. Bila tidak, manfaatkanlah kotoran ternak tadi sebagai biogas. ”Di beberapa daerah, seperti Solo, implementasi sisa produksi menjadi biogas telah ada. Mereka sudah memanfaatkan kotoran ternak menjadi sumber energi panas untuk kebutuhan dapur,” ungkap Riska Elyza dari Pelangi Indonesia, sebuah LSM yang berkutat dalam masalah lingkungan. Bahkan mereka sudah berhasil merancang kompor khusus seperti layaknya kompor gas elpiji. ”Ini jadi bukti kalau biogas bisa diterapkan. Hanya saja ia butuh sosialisasi dan transfer teknologi yang gencar dari berbagai pihak,” tegas Riska.


Gas Rawa
Biogas biasanya dikenal sebagai gas rawa atau lumpur. Gas campuran ini didapat dari proses perombakan kotoran ternak menjadi bahan organik oleh mikroba dalam kondisi tanpa oksigen. Proses ini populer dengan nama anaerob. Selama proses fermentasi, biogas pun terbentuk.

Dari fermentasi ini, akan dihasilkan campuran biogas yang terdiri atas metana (CH4), karbon dioksida, hidrogen, nitrogen dan gas lain seperti H2S. Metana yang dikandung biogas berjumlah 54 – 70 persen, sedang karbon dioksida antara 27 – 43 persen. ”Gas-gas lainnya cuma punya persentase sedikit saja,” ujar Daru. Selama proses itu, mikroba yang bekerja butuh makanan. Makanan tersebut mengandung karbohidrat, lemak, protein, fosfor dan unsur-unsur mikro. Lewat siklus biokimia, nutrisi tadi akan diuraikan. Dengan begitu, akan dihasilkan energi untuk tumbuh. ”Dari proses pencernaan anaerobik ini akan dihasilkan gas metan,” ungkap Daru.

Bila unsur-unsur dalam makanan tadi tak berada dalam takaran yang seimbang alias kurang, bisa dipastikan produksi enzim untuk menguraikan molekul karbon komplek oleh mikroba akan terhambat. ”Nah, untuk menjamin semuanya berjalan lancar, unsur-unsur nutrisi yang dibutuhkan mikroba harus tersedia secara seimbang,” tutur lelaki kelahiran Yogyakarta ini. Dalam pertumbuhan mikroba yang optimum biasanya dibutuhkan perbandingan unsur C : N : P sebesar 100 : 2,5 : 0,5.

Selain masalah nutrisi, ada faktor lain yang perlu dicermati karena berpotensi mengganggu jalannya proses fermentasi. ”Ada beberapa senyawa yang bisa menghambat proses penguraian dalam suatu unit biogas. Untuk itu, saat menyiapkan bahan baku untuk produksi biogas, bahan-bahan pengganggu seperti antibiotik, desinfektan dan logam berat harus diperhatikan saksama,” terang Daru.

Gas metan hasil fermentasi ini akan menyumbang nilai kalor yang dikandung biogas, besarnya antara 590 – 700 K.cal per kubik. Sumber utama nilai kalor biogas berasal dari gas metan itu, plus sedikit dari H2 serta CO. Sedang karbon dioksida dan gas nitrogen tidak memiliki konstribusi dalam soal nilai panas tadi.
Sementara dalam hal tingkat nilai kalor yang dimiliki, biogas punya keunggulan yang signifikan ketimbang sumber energi lainnya, seperti coalgas (586 K.cal/m3) ataupun watergas (302 K.cal/m3). Nilai kalor biogas itu kalah oleh gas alam (967 K.cal/m3). Bahkan, menurut D. Wibowo dalam paper-nya Gas Bio Sebagai Suatu Sumber Energi Alternatif, setiap kubik biogas setara dengan setengah kilogram gas alam cair (liquid petroleum gases), setengah liter bensin dan setengah liter minyak diesel. Biogas pun sanggup membangkitkan tenaga listrik sebesar 1,25 – 1,50 kilo watt hour (kwh).

Dari nilai kalor yang dikandung, biogas mampu dijadikan sumber energi dalam beberapa kegiatan sehari-hari. Mulai dari memasak, pengeringan, penerangan hingga pekerjaan yang membutuhkan pemanasan (pengelasan).
Selain itu, biogas juga bisa dipakai sebagai bahan bakar untuk menggerakkan motor. Menurut Daru, untuk keperluan ini, biogas sebelumnya harus dibersihkan dari kemungkinan adanya gas H2S karena gas tersebut bisa menyebabkan korosi. Agar tak timbul gas yang baunya seperti kentut itu, kita mesti melewatkan biogas pada ferri oksida. ”Nantinya ferri oksida inilah yang akan mengikat (gas) H2S tadi,” ucap Daru.

Bila biogas digunakan sebagai bahan bakar motor maka diperlukan sedikit modifikasi pada sistem karburator. Hasil kerja motor dengan bahan bakar biogas ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti pembangkit tenaga listrik, pompa air dan lainnya. Selain itu, biogas juga bisa dipadukan dengan sistem produksi lain.
(bayu mardana)

Tidak ada komentar: